Perihal Bersyukur dan Bersungut, Belajar Apa Hari ini?

Elora Shaloomita Sianto
3 min readJul 21, 2021
Sumber 1.0 Dokumentasi Pribadi

Semasa hidup di dunia yang fana ini, segala ambisi dan validasi berusaha diraih.

Terlalu banyak keinginan yang ingin dicapai.
Terlalu banyak tuntutan yang membebani.
Terlalu banyak ekspektasi yang berujung menyayat hati.

Semasa hidup di dunia yang fana ini, segala ketakutan dan kekhawatiran selalu menyelimuti.
Syukur tak ada.
Sungut tak pernah lupa.
Sudah…
Menepilah, mari merenungkan segala persoalan yang terjadi di bumi.

Semasa hidup di dunia yang fana ini,
Seberapa sering mulut mengucapkan syukur kepada-Nya?
Seberapa sering kelima jari mungil sisi kanan mu bertegur sapa dengan kelima jari mungil sisi kirimu?
Seberapa sering tubuh sujud menyembah sang Kuasa?

Menepilah, mari merenungkan segala persoalan yang terjadi di bumi.

Aku seorang mahasiswi Jurnalistik.
Hari itu, aku mendapatkan tugas, salah satunya adalah memotret Human Interest.
Ditemani sahabatku sedari kecil, aku mulai mengelilingi pasar tua di kotaku.
Kakiku beberapa kali menginjak lumpur saat berjalan.
“Namanya juga pasar,” kataku berusaha untuk menormalisasikan keadaan dan situasi.
Usai puas memotret di pasar tua itu, aku memutuskan untuk menyudahinya.
Kumasukan kamera berwarna hitam pekat ku ke dalam tas kulit yang terlihat usang. Usia tas itu setengah usiaku saat ini.

Berboncengan dengan temanku, sembari bercerita menatap langit yang mulai gelap.
Selama perjalanan, mataku melihat sekeliling.
Kedua mataku tertuju pada sebuah gang kecil di samping pasar.

Ada bapak tua yang sedang mengayuh sepedanya bermandikan keringat,
Ada sekumpulan ibu-ibu yang sedang berbagi tawa menampakkan gigi putihnya bersama penjual sayuran di komplek.
Ada anak kecil bersembunyi dibalik tembok, menghindari perintah Ibunya untuk mandi sore.
Ada remaja berseragam, berjalan kaki membawa tas di pundaknya.

Pemandangan yang indah.
Mempelajari arti kehidupan bahwa bumi ditinggali oleh berbagai macam manusia dengan segala latar belakangnya.

Sore itu, naik motor membuatku mengomel sesekali.
Perkotaan dan polusi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Belum lagi, kemacetannya.
Aku dan sahabatku memutuskan untuk melewati jalan kecil, menyusuri pedesaan.
Sama seperti sebelumnya, selama perjalanan berlangsung, kedua mataku melihat sekeliling.

Aku menepukkan tangan ke pundak sahabatku, memberikan sinyal untuk memberhentikan sepeda motor berisiknya itu.
Terlihat pemandangan yang menarik perhatianku.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang terletak di dekat sungai.
Tujuan awalku berhenti sebenarnya untuk sekadar memotret sampah-sampah.

Tak kuasa menahan bau, aku menjepitkan telunjuk dan tengahku ke hidung. Bersungut-sungut? Sudah pasti. Namun, ku masih melanjutkan langkah kakiku. Ketika kakiku melangkah menyusuri sekeliling TPA lebih jauh lagi, terlihat sebuah ruangan tanpa pintu. Terlihat pula, dua anak kecil yang sedang berbincang-bincang di atas kasur.

Sempat bingung dan bertanya ke diri sendiri, “Itu rumah?”

Ruangan tanpa pintu, bekas toko tua yang tak berpenghuni.

Tembok penuh coretan.

Lantai berdebu.

Mainan, sampah, dan baju berserakan dibawah lantai berwarna merah yang berdebu.

Terlihat jauh dari kata layak untuk disebut sebagai “rumah”, tempat ternyaman setiap manusia menghabiskan waktu dan bersembunyi dari dunia yang penuh teka-teki dan lika-liku ini.

Aku menyapa mereka. Layaknya yang dilakukan setiap orang ketika bertemu orang baru.

Melontarkan berbagai pertanyaan, termasuk menanyakan perihal rumah mereka.

Kurang lebih seperti ini,

Ruangan itu memang betul rumah mereka.

Sebuah tempat beratapkan triplek penuh jaring laba-laba di setiap sudut ruangan itu disebutnya rumah.

Sempat tercengang, tak terbayang dibenakku diposisikan sebagai mereka.

Hidupku yang lebih dari cukup.

Rumahku yang jauh dari kata nyaman apabila disandingkan dengan mereka.

Kamar tidurku berukuran lebih luas dari rumah mereka.

Tubuhku tak bergerak.

Mataku terus menggeliat ke kanan dan kiri.

Mulutku terbungkam.

Pikirku melayang-layang.

Didapati diriku merenung. Mempelajari kehidupan yang fana ini.

Hari ini, sejak matahari terbit hingga terbenam.

Aku tuang sunggut-sunggut yang berlebihan.

Mempersoalkan lumpur yang mengotori sendalku, mengomentari polusi dan panasnya cuaca, menyalahkan kemacetan di kota dan bau sampah.

Aku tuang sunggut-sunggut yang berlebihan.

Mengapa tidak ada syukur sama sekali yang aku dengungkan hari ini?

Bersyukur untuk masih bisa bernafas, memiliki sahabat, memiliki rumah yang layak, memiliki kamera yang mungkin tak semua orang mampu membelinya?

Hal-hal kecil seharusnya patut disyukuri.

Menepilah, mari merenungkan segala persoalan yang terjadi di bumi.

Belajar apa hari ini? Bersyukur atau Bersungut?

Sumber 2.0 : Dokumentasi Pribadi

--

--

Elora Shaloomita Sianto

kumainkan melodi sembari mengenggam erat pena, selamat datang✨